Selasa, 22 Mei 2012

Delphi 7 Menu Login dengan Database Desktop

Sudah lama rasanya saya tidak membuat postingan mengenai ini lagi, maka disini saya coba kembali lagi.

Kali ini saya akan menulis tentang bagaimana menbuat menu login dengan Borland Delphi 7. Semoga masih ada yang bisa memanfaatkannya.

sebelum memulai mari kita buat dulu databasenya. Disini saya menggunakan Database Desktop - Paradox 7. Pertama-tama, buka program Delphi 7, lalu pilih menu Tool -> Database Desktop.

Setelah tampilan Database Desktop berhasil dibuka pilih File -> New -> Table. disana akan muncul Table type pilihlah Paradox 7 lalu OK.

Lihat gambar agar lebih jelas.








Buat Database seperti gambar dibawah ini, untuk Type ketikkan saja A untuk type data berupa teks, lalu untuk memberi tanda * (bintang) untuk lambang primary key, gunakan spasi -> Save As, untuk menyimpan data.





Setelah data disimpan kita perlu membuat alias. Agar kita tidak perlu menulis alamat/tempat penyimpanan database terlalu panjang saat membuat listing programnya.

Caranya, ,asih di Database Desktop. Pilih Tools -> Alias Manager -> Pilih New -> Isikan database name dan pilih Browse untuk mengganti Path atau tempat kita menyimpan Database kita. Setelah itu OK

Lihat gambar agar lebih jelas.




Kalau ada tulisan seperti ini pilih saja yes, tanda Alias berhasil dibuat. kalau tidak bisa cek lagi, mungkin nama alias kita sudah ada atau sudah dipakai sebelumnya sehingga tidak bisa lagi digunakan.



Setelah dibuat isikan datanya seperti gambar di bawah.





Setelah itu desain tampilan form login dengan menambahkan Table dari tab BDE

Untuk Table , ganti

Name : tblogin
DatabaseName : login (nama alias)
TableName : tlogin (nama tabel sewaktu membuat database)

Active : true


pada tombol OK isikan listing seperti berikut

procedure TFlogin.Button1Click(Sender: TObject);
begin

  tblogin.First;

  while not tblogin.Eof do
    if(Edit1.Text=tblogin['User']) and (Edit2.Text=tblogin['Password']) then
    begin
      nmutama.show;
      exit;
    end

    else
    begin
      tblogin.Next;
      if(Edit1.Text=tblogin['User']) and (Edit2.Text=tblogin['Password']) then
      begin
        nmutama.show;
        exit;
      end

      else
      begin
         ShowMessage('data tidak ditemukan!');
         Edit1.Text:='';
         Edit2.Text:='';
         Edit1.SetFocus;
         exit;
      end;

    end;

  end;
 
end.



Lalu jalankan program. jangan lupa membuat form untuk halaman utama(FhalUtama) atau tampilan halaman setelah login berhasil.



 Sekian dulu postingan dari saya semoga bermanfaat.

Minggu, 13 Mei 2012

Ujian Nasional Didepan Mata!! So, kenapa harus panik?

Wah kalau judul artikel ini menuai protes dari pembaca sekalian, saya mohon maaf. Tidak bermaksud menebar kecemasan atau hujatan untuk saya sendiri. hanya sekedar menyampaikan opini.

Tapi coba kita pikirkan yang satu ini. Rasa panik, cemas, gelisah sampai marah-marah terus karena stress, itu malah menambah buruk suasana. Bagaimana kalau hari-hari atau jam-jam menjelang UN ini kita bawa sedikit santai. Wah pasti kalian menggap saya ini seseorang yang dulunya punya nilai kumlaut dalam UN. Padahal saya mendapat nilai yang cukup untuk membawa saya lulus waktu itu.

Hanya saja kalau kita merasakan sindrom UN, alhasil nantinya setelah kita melihat soal-soal ujian semua jawaban yang ada di kepala bisa tidak keluar semua. BAHAYA! Kan?

Bukan berarti juga kita harus menghilangkan perasaan cemas kita sama sekali. Karena perasaan cemas bisa membuat kita lebih teliti sebelum menjawab.

Kalau boleh tau apa sih yang membuat semua orang begitu takut dengan UN? Aku sendiri belum pernah mensurvei juga. Tapi kalau masih bisa digali sedikit ingatan waktu sekolah, UN itu, kita harus mencari jawaban yang sulit, lalu setelah jawaban itu di dapat kita juga harus membulatkan kertas jawaban dengan sangat hati-hati. Dan, hasilnya tidak bisa diulang lagi. Alias hasil mutlak untuk menentukan kemana kita selanjutnya melangkah (agak sedikit lebay ya, karena jaman saya belum ada ujian paket). 

Dan itu yang membuat saya dulu juga terkena sindrom UN (tapi gak sampai nangis-nangis paling kurus karena gak doyan makan). Tapi itu bener nyeselll banget. Karena pikiran jadi sama sekali gak tenang.

Jadi pembaca sekalian, UN bukanlah akhir segalanya. Memang tidak memungkiri menentukan langkah selanjutnya. Tapi guruku sewaktu sekolah pernah bilang. Factor utama lulus UN bukan hanya sekedar pintar. Tapi juga sabar ketika membulatkan jawaban. Dan adanya factor Luck.

Saranku sih ya, istirahat yang cukup karena aku yakin kalo soal belajar pembaca sekalian pasti sudah sampai overload. Jangan lupa berdoa untuk yang TERBAIK bukan hanya sekedar lulus. Karena kita tidak tahu rencana Allah buat kita kan?!


BlackWing
meski aku punya sayapku tak seputih sayap malaikat, aku akan terus terbang mencari mimpiku.

Kamis, 22 Maret 2012

ERROR pada Instal Delphi 7 pada Windows Seven

Postingan kali ini, saya ingin membahas mengenai Delphi 7. Beberapa waktu lalu saya mencoba menginstal software pembuat aplikasi berbasis OOP ini di komputer saya Sebagai materi kuliah yang baru. . Semua langkah sudah saya ikuti dengan benar.

Tapi ketika program dijalankan ada sedikit masalah yaitu muncul pemberitahuan seperti ini.


Setelah berkonsultasi dengan teman juga mencari referensi dari mbah google saya bisa menggunakan aplikasi Delphi 7 di komputer windows 7.

 
Caranya,
Klik start -> All Program -> Delphi 7 ->klik kanan Delphi 7 ->klik properties


Setelah itu pilih Compatibility ->bericeklis pada Runtime program in compability mode for: ->pilih Windows XP (Service Pack3)
Juga beri ceklis pada -> Run this program as an administrator


Setelah itu jalankan lagi program Delphi 7 maka tampilan error tidak lagi terlihat dan program Delphi sudah bisa digunakan.





Selamat mencoba . ^_^


Sumber : Berbagai Sumber

Kamis, 08 Maret 2012

Sahabat?!


Sampai aku menulis ini, aku masih tidak tahu apa itu sahabat. Ah paling kalian bilang itu klise kan? Sekedar alasan untukku menulis cerita ini. Sungguh kawan ini lah aku. Inilah ceritaku.

Teman, bagiku hanyalah pelengkap. Karena aku sendiri sadar aku tidak bisa hidup sendiri. Lalu aku mulai berteman. Berkenalan satu per satu sekedar mencari seseorang yang bisa aku sapa setiap pagi. Orang yang bisa aku ikuti ketika keluar kelas setelah penat belajar. Walau aku sendiri sering tertawa bersama bukan berarti mereka segalanya.

Hari-hari berjalan biasa. Hingga aku beranjak sekolah. Lalu sekarang, masa itu sudah lewat. Aku tidak terlalu peduli. Karena aku juga tidak pernah menganggap mereka peduli padaku. Egois? Mungkin itu kata yang tepat untukku. Karena aku tidak tahu seperti apa berteman itu.. Hingga aku sering melupakan teman-teman itu.
Kawan, adakah kalian tahu apa itu sahabat? Yah aku tidak akan memaksa kalau kalian tidak tahu. Aku pun begitu. Semua cerita-cerita dalam buku begitu mengagungkan kata sahabat. Baik, setia, dan semua kata yang sama indahnya.

Bertahun-tahun aku tidak terlalu peduli. Selama ada satu orang yang masih bisa berbagi sapa denganku. Tapi kawan aku juga bukan orang munafik. Karena, satu-satunya yang aku rindukan dari masa sekolah adalah teman. Seseorang yang bisa setiap pagi bertatap muka, berbagi cerita, berkeluh kesah, bahkan sekongkol untuk sesekali kabur dari kelas.

Ini, aneh karena sekarang aku benar-benar merasa kesepian. Diantara jarak yang jauh, aku masih mencoba menyapa mereka. Berharap mereka masih mengingatku. Tapi selalu aku dapati diriku sendiri terpuruk, merasa jauh, sebelum mereka menolakku.

Kawan, kalau aku berkata ini, pada kalian semua. Bahwa aku tidak benar-benar merasa bersahabat dengan siapapun, adakah yang akan marah, kesal, lalu menarik tanganku dengan tersenyum. Dan berkata, aku ada disini?

Sekali saja aku yang egois ini ingin tahu seperti apa rasanya sahabat itu.

Rabu, 07 Maret 2012

Lembaran Cerita Tentangmu


Hari ini angin bertiup penuh nafsu. Ranting-ranting mengetuk-ngetuk pelan jendela dilantai dua. Anita memandang keluar jendela dengan gusar. Bukan karena cuaca yang meyeramkan itu tapi lebih pada tumpukan barang-barangnnya yang sudah tertumpuk rapi dilantai kamarnya.
Hari ini keluarganya berencana pindah rumah. Buth sehari penuh untuk membereskan sisa barang-barangnya. Yang sudah mulai diangkut kedalam truk. Hari itu juga mereka akan meninggalkan Jakarta
“Sayang, sudah belum beres-beresnya?” suara Mama terdengar mengalahkan suara ribut diluar jendela. Anita menoleh kearah tumpukan kardus di depannya. Sudah rapi, pikirnya.
“Belum Ma, sebentar lagi,” jawab Anita bohong. Dia menghempaskan tubuhnya diatas kasur yang selimutnya sudah tidak lagi disana. Matanya menatap ruang kamarnya meneliti setiap sudutnya. Berusaha menyimpan semua detail kamarnya dalam memorinya. Lalu ekor matanya berhenti pada lemari kayu yang ada di sudut ruangan dekat jendela. Di atasnya, kotak biru tua diam tidak tersentuh. Dengan bantuan kursi belajar kotak itu berada kini dalam genggamannya. Anita tidak begitu ingat kotak apa dan kapan dia meletakkannya diatas. Yang dia tahu dia sudah berhasil menyembunyikan kotak itu bahkan dari dirinya sendiri.
Setelah kembali pada posisinya dibukanya kotak biru itu. Didalamnya ada beberapa lembar foto, foto dirinya juga teman-temannya. Satu persatu dikeluarkannya. Sekarang semua foto itu sudah bertebaran di atas kasur. Tapi yang mengganggunya adalah sebuah buku merah kecil. Buku itu memiliki gembok kecil berwarna silver yang mengunci setiap lembarannya. Anita menuang semua isi kotak itu hingga berserakan. Mencari kunci yang mungkin cocok dan dia yakin pernah menaruhnya disana.
Binggo!” teriaknya perlahan setelah menemukan kunci perak kecil yang pas dengan lubang kuncinya. Anita sekarang sudah terbenam dalam tulisan-tulisan buku itu. Dia baru ingat ini adalah buku diary-nya ketika masih SMP.
Di halaman pertama.
Asiknya jalan-jalan sama temen-temenku. Pulangnya mampir beli Pop Ice, emmm enak ^_^.
Anita tertawa membayangkan hari itu. Mereka pulang lebih awal lalu memanfaatkan untuk berjalan-jalan sebentar. Yah sebentar bagi mereka tapi ternyata hari sudah sore ketika mereka tiba di rumah masing-masing.
Anita membalik lembar demi lembar mengingat kejadian yang mulai dilupakannya. Lalu tangannya berhenti ketika dia mulai menyadari hampir setengah halaman terakhir hanya satu nama yang menghiasi catatan hariannya itu.
Hari ini ada murid baru. Namanya Dika. Padahal sudah dua minggu pelajaran dimulai, paling-paling sengaja supaya tidak ikut MOS kemarin. Anaknya juga keliatannya agak nyebelin. Hari pertama aja udah bikin ribut. Pasti hari berikutnya gak bakal tenang deh.
Anita mengingat-ingat kejadian itu. Gambaran-gambaran yang berhubungan dengan hari itu muncul seperti dipantulkan ke langit-langit kamarnya yang putih.
***
Anita duduk dibangku baris kedua dari pintu. Disebelahnya Elli mengikut lengan Anita dengan tidak sabar mencoba mengalihkan perhatian temannya itu dari buku bacaannya. Anita menutup bukunya menyadari wali kelasnya sudah berdiri di depan kelas.
“Perkenalkan saya Dika Bagus. Pindahan dari Bandung,” sapa seorang anak laki-laki yang masuk bersamaan dengan wali kelasnya. Setelah dia duduk di bangku tepat dibelakang Anita, pelajaran pun dimulai seperti biasa. Hanya saja jam-jam saat guru tidak ada dikelas jadi terasa berbeda.
Suasana kelas yang bising karena suara anak-anak yang bernyanyi dengan setengah berteriak memenuhi ruangan. Dan Dika anak yang baru saja bergabung pagi tadi sudah ikut menyumbang suaranya. Anita mencoba menenggelamkan pikirannya pada buku yang sejak jam pelajaran tadi tersimpan dalam lacinya.
Hari-hari berikutnya pun suasana semakin gaduh. Bahkan sepertinya dia menjadi pelopor dari semua kejahilan baru di kelas ini.
“Aduh sepatuku kemana ya?” Dita menilik setiap sudut rak kecil itu yang biasanya penuh dengan sepatu. Hari sudah begitu terik. Matahari sudah berada tepat diatas kepala mereka beberapa waktu lalu. Dita dan Anita mencari lagi di sudut aula yang mungkin mereka lewatkan. Hasilnya nihil.
Sebuah bayangan muncul di depan Anita. Menghalangi panasnya matahari yang menyengat. “Nyari apa sih?” Dika sudah berdiri dibelakangnya. Matanya menoleh ke kiri-kanan ikut sibuk mencari. Hari ini kelas mereka menggunakan aula untuk latihan senam karena itu sepatu kami ditinggal di rak dekat aula.
Spontan Anita berdiri menghalangi pandangan Dika, “elo umpetin dimana sepatunya?” tuduh Anita. Dika diam lalu tertawa sendiri. Dengan sebelah tangan mendorong tubuh Anita sedikit kesamping hingga dia kembali leluasa melihat sekelilingnnya. Anita tidak mau kalah dia hanya diam, bergeming.
“Enggak ada anak lain yang kekanak-kanakan kayak elo,” tantang Anita sekali lagi. Dia yang selalu merasa bisa menandingi siapapun tidak mau dianggap remeh oleh anak seperti Dika.
Dipandanginya  Anita jengah. Lalu dengan enggan berjalan ke dalam aula ketempat deretan kursi paling belakang. Mencoba mencari sesuatu di antara tumpukan kursi. “Ini! elo enggak asik,” disodorkannya sepasang sepatu hitam milik Dita lalu segera berlalu.
***
Angin berhembus semakin kencang karena jendela yang tidak dikunci terbuka oleh dorongan angin. Anita bangkit dari tempat tidurnya. Menutup jendela lalu duduk di meja belajarnya yang belum sempat terangkut. Beberapa halaman menceritakan kejahilan demi kejahilan Dika. Dia merasa aneh sendiri karena Dika yang merupakan musuh besarnya malah mengisi hampir seluruh halaman diarinya.
Perlahan titik-titik air jatuh menimbulkan suara yang berirama. Dari atas jendela dia dapat melihat orang-orang yang membantu ayahnya masuk kedalam rumah. Setelah menutupi bagian truk dengan terpal biru.
“Kok hujan ya Ma,” Anita sudah berada dibawah menikmati secangkir teh panasnya melihat satu persatu barangnya diturunkan dari lantai atas.
“Iya, semoga tidak tambah lebat jadi kita tidak terlambat nanti.”
Karena semua pekerjaannya sudah selesai Anita menyelinap kebelakang rumahnya. Duduk diatas ayunan dengan atap kecilnya yang cukup menghalangi gerimis jatuh di atas kepalanya. Diapun kembali larut dalam buku kecilnya. Berbeda dengan halaman lain yang menceritakan kejahilan Dika. Kalimat yang dia tulis disini membuat dia mengulanginya beberapa kali. Takut kalau dia salah membaca atau salah ketika menuliskannya dulu.
Kalau dari dekat dia sedikit jinak. Hihihi. Tapi ternyata cowok jahil ini lebih mahir dari aku. Sebel deh. Yah tapi dia cukup baik nawarin jawaban di soal terakhir. Duduk sebangku gak rugi juga.
 Melihat itu tidak mungkin ditulis oleh orang lain Anita membalik lagi halaman sebelumnya dan mendapatkan catatan ketika mereka diminta duduk berdua oleh wali kelas.
Huh kenapa sih harus duduk sama dia. Biar gak berisik apanya. Dia itu gak mungkin diem walau sudah dipindah keujung dunia.
***
Kalau hari ini Wenda yang badannya lebih berisi, masuk dengan tubuh langsing seperti gambar artis di majalah yang setiap hari dibawanya mungkin Anita tidak akan sekaget ini. Tapi dengan tatapan maut gurunya yang satu itu Anita menyeret tasnya dengan terpaksa. Menempati tempat duduk di belakangnya. Raut wajah Melinda terlihat cerah berlawanan denga Anita yang mendung disertai hujan badai, suram.
“Kenapa, gak seneng ya duduk sama gue?” Tanya Dika dengan wajah innocent-nya. Anita sendiri sudah duduk sambil menggerutu sendiri berusaha mnghindari pecah perang yang kesekian kalinya dengan makhluk disampingnya. Dengan senyum mencurigakan setidaknya bagi Anita Dika menambahkan, “aku gak gigit kok udah jinak nih.”
Oh my god.”
Hari hari berikutnya berjalan tidak baik tidak juga buruk. Semua murid diam dengan keadaan yang tidak bisa dibilang wajar. Karena guru killer sedang menghakimi muridnya yang tidak bisa menjawab soal yang dia berikan.
Satu persatu mencoba tentu saja bukan secara sukarela tapi seperti antrian maut. Dan sekarang tinggal lima orang lagi sebelum tiba giliran Anita.  Keringat dingin sudah membasahi tangannya. Karena dia belum bisa menaklukkan soal itu, alhasil dia pun akan bernasip sama seperti temannya. Berdiri di depan sampai ada yang bisa menjawab.
Empat, tiga, belum ada yang bisa menjawab dua, konsentrasinya sudah pecah dari tadi padahal hanya hitungan akhir saja yang belum selesai.
“Nih,” diliriknya sekilas lalu beralih pada empunya buku yang menatap lucu orang-orang di depan yang panik.
“Anita, maju,” Ibu Sesil memperhatikan gerak gerik Anita dari balik kaca matanya. Anita yang sudah pasrah merasakan Dika mendekatkan bukunya dengan gaya mendesak yang tidak kalah dari Ibu Sesil dengan tetap memperhatikan ke depan, takut ketahuan.
***
Sekarang Anita ingat karena jawaban Dika waktu itu dia dan teman-temannya di bebaskan dari hukuman Ibu Sesil. Walau PR berikutnya tetap tidak ada ampun. Dan diam-diam Dika menunjukkan kemampuannya dan selalu membuat Anita terkesan. Walau sifat kasar dan jahilnya juga semakin kelihatan.
Anita tidak terlalu ingat ketika dia melihat Dika sebagai musuh perlahan-lahan mulai tertawa bersama. Bahkan ada sedikit perasaan aneh terselip dalam setiap tawanya itu. Dibalik lagi halaman buku kecil itu dan membaca satu-persatu kejadian yang mungkin telah terlupakan. Walau detail ceritanya memang sudah sedikit memudar tapi dia masih bisa merasakan perasaan itu sampai sekarang. Dan semakin terasa aneh setiap kali membaca kata-katanya sendiri tentang bagaimana dia menggambarkan Dika.
Kenapa dia harus berdiri disana? Apalagi tanpa seragamnya yang biasa. Bersandar di pagar hitam sekolah, sambil mendengar kan lagu dari IPod-nya. Hari ini masih terlalu pagi yang lain belum datang. Hingga gak ada yang tahu aku memperhatikan dia. Aku sendiripun tidak sadar sudah memandangnya terlalu lama. Tapi dia tidak juga sadar aku disana. Atau hanya perasaanku, aku lihat dia menoleh sekilas lalu tersenyum?
***
Hari masih terlalu pagi karena itu Anita memanfaatkannya dengan berjalan santai ke sekolah. Berhubung hari ini hari minggu jalanan sudah dipenuhi orang yang berlalu lalang untuk sekedar jalan pagi. Anita tidak akan kecewa lagi kalau ternyata belum banyak murid lain yang datang apalagi di minggu pagi seperti ini. Seperti latihan renang dua minggu lalu.
Anita berhenti walau jarak gerbang sekolahnnya hanya sekitar lima meter lagi. Dilihatnya seseorang bersandar dipagar sekolahnya yang hitam. Hanyut dalam lagu yang didengarkannya lewat headset yang terhubung dengan IPod-nya. Anita berjalan perlahan menghampirinya. Bahkan sampai jarak mereka cukup dekat untuk saling menyapa.
Kemudian Anita memilih bersandar di pagar disamping Dika. Diperhatikan jalanan yang masih lenggang dari murid-murid lain.
“Pagi banget datengnya?” Tanya Dika begitu menyadari kehadiran Anita disampingnya.
“Kayaknya gue selalu dateng jam segini deh,” jawab Anita.
Dika mengangkat bahu tanda tidak terlalu peduli lalu kembali mendengarkan IPod-nya. Anita sendiri berusaha menyibukkan diri dengan melihat apapun yang ada di sekitarnya. Dia tidak tahu harus berterima kasih atau tidak karena waktu itu terasa begitu lama.
“Elo kenal Elina?” Tanya Dika.
“Kenal kenapa?” Anita balik bertanya.
Dika membiarkan earphone-nya tergantung begitu saja.
“Bilang sama dia Gue gak suka dia deketin gue terus” ucapnya ambigu, “gue gak suka cewek yang kecentilan”.
Entah perasaan aneh apa yang membuncah memenuhi rongga dadanya. Anita tidak sempat lagi memikirkan apapun karena suara Melisa memecah kesunyian yang aneh diantara mereka.
***
Anita menutup buku kecilnya. Memperhatikan satu persatu barang-barangnya sudah mulai diturunkan. Beberapa hari sebelumnya Anita sdah berpamitan kepada teman-teman disekolahnya. Karena bukan hanya Anita saja yang akan melanjutkan sekolah ke luar kota.
Tapi khusus untuk sahabat nya selama tiga tahun, mereka sudah menggelar acara perpisahan sendiri kemarin di rumah Anita. Karena Anita menolak mereka mengantar kepergiannya hari ini.
Sudah lama Anita mencoba melupakan bayangan Dika. Apalagi setelah kepergiannya di tahun kedua dengan alasan yang sama ketika pindah ke sekolah Anita. Mengikuti orang tua. Sekarang ketika semuanya sudah hampir pudar buku kecil ini kembali mengingatkan dia pada Dika.
Kalau saja dulu Dika tidak sering membelanya ketika sedang beradu mulut dengan anak berandal kelasnya. Entah karena pelajaran, PR atau Anita yang dengan beraninya menantang mereka karena keisengannya. Pembelaan Dika yang terang-terangan membuatnya merasa gerah.
“Anita, ayo kita sudah harus berangkat,” suara mama bergema diruangan yang hampir kosong. Anita segera mengambil tas kecilnya di meja.
Anita memilih duduk di belakang karena di kursi depan sudah ada Ibunya. “Loh ayah tidak ikut?” tanyanya begitu menyadari ayahnya tidak ikut masuk kedalam mobil.
“Kalian duluan saja, Ayah nanti menyusul setelah semua barang sudah rapi.” Perlahan mobil sedan biru ayahnya mulai berjalan menjauh. Kalau saat itu Dika pindah ke Jakarta karena mengikuti kedua orang tuanya, maka sekarang Anitalah yang menggunakan alasan itu untuk pindah ke Bandung.
Didapatinya halaman terakhir buku itu masih kosong, dan menorehkan beberapa kalimat disana.
Apakah benar yang orang bilang bahwa dunia itu sempit. Kalau iya aku ingin mempercayainya. Untuk memastikan perasaanku sendiri.

Pernah Dipostkan di : http://www.kemudian.com/node/262882 

Minggu, 04 Maret 2012

Jaringan Komputer : Sejarah dan Perkembangan Singkat


Kali ini saya akan membahas mengenai Jaringan Komputer. Sebenarnya kita sudah sering berhubungan dengan yang namanya Jaringan Komputer. Secara garis besar atau yang dapat saya simpulkan, jaringan komputer berarti dua komputer atau lebih atau juga alat elektronik (modem, printer, dll) yang saling terhubung melalui media jaringan dan dapat saling berbagi data.

Sejarah dan Perkembangan Jaringan Komputer

Sejarah Jaringan komputer itu sendiri berawal dari ditemukannya komputer itu sendiri. Yang lalu berkembang menjadi komputer personal yang saling terhubung satu sama lain dengan dalam sebuah jaringan.

 
Awal mula jaringan komputer berdasarkan konsep jaringan tahun 1940’an di Amerika yang dipimpin oleh Prof.Howard Aiken dalam proyek MODEL 1 di lab.Bell dan grup riset Univ.Harvard. untuk memanfaatkan komputer bersama. Kemudian dibuat proses beruntun (Batch Processing) dengan sistem antrian.

Pada tahun 1950’an pertama kalinya bentuk jaringan (network) komputer diaplikasikan. Dengan mulai terciptanya super komputer. Dengan sebuah komputer yang digunakan sebagai terminal atau mengepalai komputer lain. Konsep yang berdasar waktu ini dikenal dengan nama TSS (Time Sharing System). Yang terhubung secara seri dalam jaringan (host). Proses TSS perpaduan teknologi komputer dan teknologi komunikasi.

Pada tahun 1969 DARPA(Defense Advanced Research Agency) dari departemen pertahanan Amerika. Mengadakan riset tersendiri. Yang dikenal dengan ARPANET. Di tahun 1970 lebih dari 10 komputer berhasil dihubungkan. Ketika perangkat komputer dirasa semakin mahal, maka mulai digunakan konsep proses distribusi (Distributed Processing).

Tahun 1972, Roy Tomlinson sukses menyempurnakan Email. Yang setahun sebelumnya dibuat untuk ARPANET. Pada tahun yang sama dikenalkan ikon @. At atau pada.

Tahun 1973 jaringan ARPANET semakin berkembang keluar Amerika Serikat. University College di London komputer pertama diluar AS yang tergabung dalam ARPANET. Di tahun yang sama dua ahli komputer Vinton Cerf dan Bob Kahm menjadi cikal bakal Internet. Dengan di presentasikan pertama kali di Universitas Sussex.

Lalu peristiwa penting tanggal 26 Maret 1976. Ketika Ratu Inggris berhasil mengirim Email dari Royal Signals and Radar Establishment di Malven.

Setahun kemudian lebih dari 100 komputer tergabung dalam ARPANET membentuk jaringan. Manfaat jaringan semakin berkembang dengan diciptakannnya newsgroup pertama tahun 1979 oleh Tom Truscott, Jim Ellis dan Steve Bellovin. Disusul telepon televisi atau video link. Tahun 1981 oleh France Telecom.
Akhirnya setelah bertambahnya komputer dalam jaringan resmi dibentuk TCP (Transmission Control Protocol) di tahun 1982. Yang lebih dikenal IP (Internet Protokol).

Pada tahun 1984 dikenal sistem penamaan domain. Dan jumlah pemakai jaringan bertambah pesat 1000 lebih di tahun 1984 dan mencapai lebih dari 10000 di tahun 1987.

Jarkko Oikarinen seorang berkebangsaan Finlandia tahun 1988 memperkenalkan IRC (Internet Relay Chat) untuk berinteraksi langsung dengan mengirim pesan atau Chatting.  Ini menambah pengguna jaringan hingga tidak kurang dari 100000 dalam sebuah jaringan.

Tahun paling bersejarah, pada pertengahan tahn 1990 Tim Berners Lee merancang program penyunting dan penjelajahan dengan membentuk jaringan. Disebut Waring Wera Wanua atau WWW (Word Wide Web). 

Di tahun 1992 lebih dari sejuta komputer terhubung membentuk jaringan. Dan muncullah istilah Surfing atau menjelajah. 1994, situs di internet tumbuh hingga 3000 alamat. Dan mulailah muncul berbelanja melalui internet dan ditahun yang sama Yahoo! Didirikan.





Insya Allah tidak ada halangan untuk menerbitkan artikel lain seputar Jaringan Komputer.


Sumber: 
http://id.wikipedia.org/wiki/Jaringan_komputer#Sejarah
http://www.jaringankomputer.org/sejarah-jaringan-komputer-internet/

Rabu, 29 Februari 2012

Lilin-Lilin yang Kesepian



Kamu harusnya sudah tahu kalau aku benci filosofi-mu tentang lilin-lilin itu. Tapi kamu selalu tidak peduli. Kamu malah bercerita dan bercerita lagi. Tapi setiap aku pasang tampang kesal kau malah tertawa dan bilang aku lucu.

Kamu ingat hari pertama aku mengajakmu bicara? Hari itu gelap gulita. Lampu seluruh komplek kita mati total. Aku akui aku memang takut hari itu. Aku harap aku tidak pernah mengakuinya padamu seperti yang aku lakukan saat ini.

Dari atas kamar, aku hampir berteriak dan menangis. Lalu aku melihat satu-satunya cahaya dari jendela kamarku. Bulan hari ini tampak penuh. Aku beranikan diri melihat keluar disana aku bisa melihatmu. Duduk di taman dengan dikelilingi cahaya lilin yang kau bentuk sedemikian rupa. Sesuatu yang indah lalu aku berteriak memanggilmu ‘gadis lilin’. Aku masih ingat ekspresi kaget mu yang melihatku tiba-tiba berteriak sambil melambai-lambai senang. Kau haruslah maklum saat itu kan aku baru tujuh tahun. Tapi toh kamu tersenyum juga.

Esok harinya aku pergi kerumahmu. Padahal tujuh tahun sebelumnya kita seperti tidak saling mengenal. Padahal rumah kita hanya terpisah tembok saja. Itu juga tidaklah terlalu tinggi. Tapi yah sudahlah toh akhirnya hari itu kita saling bertukar nama. Nuraini. Nama yang indah tapi ‘gadis lilin’ terasa lebih spesial bagiku maka dengan itulah aku selalu memanggilmu. Dan kau tetap memanggilku Satria.

Sejak itu esoknya aku datang lagi, dan esoknya, dan esoknya lagi. Sampai aku lupa kalau aku sudah terlalu akrab denganmu. Dan setiap siang sepulang sekolah aku menemanimu belajar. Padahal kau sedang home schooling tapi Ibumu selalu senang menyambutku di depan pintu, memberiku segelas minuman dan cemilan. Lalu membiarkanku ikut belajar menemanimu.

Hari itu kita sama-sama berumur lima belas tahun. Aku masuk ke SMA dan kau masih tetap mengikuti home schooling. Tapi aku selalu menyisakan waktuku untukmu. Terlalu sering hingga aku tidak sadar kebiasaan itu mengikatku. Dan aku berharap kau juga merasakannya. Kau tahu? Sampai sekarang aku selalu bisa menebak pikiranmu, kecuali semua pikiranmu tentangku. Seperti, apa yang kau pikirkan saat aku setengah mati berusaha tenang kalau kau berdiri terlalu dekat denganku hingga wajah kita hanya berjarak beberapa senti saja. Kadang kau tersipu oleh ocehan teman-temanku yang aku kenalkan padamu.

Ah, aku ingat hari itu. Seperti hari-hari biasa denganmu yang akan selalu aku kenang. Terkadang aku berpikir kapasitas otakku besar juga. Bahkan aku masih ingat setiap kali kau memanggil namaku dengan berbagai ekspresi. Siang itu aku tidak datang kerumahmu, kegiatan disekolah hari ini menahanku. Hingga sore hari dan gurumu sudah bersiap pulang. Payahnya tugas itu terpaksa aku bawa pulang ke rumah beserta beberapa orang temanku yang mau tidak mau harus ikut. Kau tahu, ekspresi terkejutmu itu lucu, saat itu kau bersembunyi di balik pohon bunga yang berdiri diantara rumah kita. Aku tidak tahu kenapa kau tidak memperhatikan kawan-kawan sekitarku lalu meloncat ke depan dan memelukku seperti biasa. Berharap aku terkejut. Kau berhasil membuatku terkejut juga kawan-kawanku. Melissa, Johan, Gia dan Deri. Lalu kau sendiri terkejut bukan main lalu lari masuk kedalam rumah. Saat itu terpaksa aku meninggalkan kawan-kawanku mengejarmu. Tapi yang aku dengar hanya isak tangis dari balik pintumu yang putih.

Lama sampai kau mau keluar dan mengikutiku. Aku kenalkan kau dengan temanku satu per satu. Disanalah aku melihat wajahmu yang tersipu saat Gia bertanya apa aku pacarmu. Lalu kau bersembunyi dibelakangku dan memanggil namaku dengan merajuk. Memintaku mengantarmu pulang. Dan sejak hari itu mereka sering datang dan menggodamu.

Kau tau ‘gadis lilin’ ku, sejak kawan-kawanku sering datang dan meledek kita aku mulai menyadari kehadiranmu lebih dari sekedar filosofi lilin yang kau agungkan. Tentang cahaya yang terang dan perlahan memudar. Bahkan sampai sekarang aku masih berfikir lilin itu tidak akan padam.

Aku hampir yakin bahwa kau juga merasakan hal yang sama. Tapi terkadang kau juga sering mengacuhkanku tanpa alasan yang jelas. Seperti hari itu, pagi yang indah dengan matahari yang tidak terlalu panas. Kita duduk berdua melihat langit. Berusaha menebak awan seperti anak kecil. Tapi kau senang aku tahu itu. Lalu kau bisa tiba-tiba murung dan diam untuk waktu yang lama. Terkadang berhenti bicara padaku. Yang aku tahu tidak akan bertahan lebih dari satu hari. Setelah segala upaya menggodamu yang membuatmu tersenyum lagi.

Aku ingat salah satu percakapan kita di hari yang sedikit mendung. Saat itu kau bertanya padaku kenapa aku selalu memanggilmu ‘gadis lilin’. Aku tersenyum tapi sebenarnya agak sedih juga, kau tahu? Itu hari pertama aku melihatmu dan kamu satu-satunya yang bersinar diantara lilin-lilinmu. Dan saat itu aku habiskan waktu sampai lampu menyala dengan melihatmu di bawah. Samar-samar juga aku lihat kedua orang tuamu di dalam. Berteriak-teriak mungkin mencari lilin yang sudah kau bawa keluar semua. Seperti di rumahku semuanya berisik. Karena itulah aku memanggilmu ‘gadis lilin’.

Nuraini, ‘gadis liiln’-ku. Karena dirimu butuh waktu lama untukku memandang lilin menjadi sesuatu yang indah seperti saat aku bertemu dirimu.

Ini, sudah setahun, aku tidak pernah menemuimu lagi. Aku takut, aku sedih, kehilangan sesuatu yang bersamaku setahun ini benar-benar menyiksa.

Nuraini? Bolehkah aku tetap memanggil mu ‘gadis lilin’ karena ini panggilan khusus untukmu dariku.
‘Gadis lilin’-ku, sekarang aku akan menyalakan lilin-lilin ini untukmu, seperti katamu

Lilin-lilin ini begitu indah
Dengan cahayanya yang benderang
Bersinar dengan bahagia
Hingga dirinya lebur dalam gelap gulita.

Selama ini aku bersikeras bahwa kau tidak perlu menjadi seperti lilin-lilin itu. Terlalu melankolis. Terlalu sedih. Maka setiap kau ceritakan cerita tentang lilin-lilin itu aku selalu kesal. Pun ketika aku tahu penyakit itu sudah setia bersamamu bertahun-tahun lalu. Jauh sebelum kita akhirnya saling menyapa. Aku semakin kesal kendati kau semakin menggilai filosofi mu tentang lilin-lilin itu.

Bagiku kau hanyalah lilin kecil yang redup diantara lampu-lampu. Dan kau merasa cahaya terang ini berasal darimu.

Air mata ini masih saja keluar mengaburkan pandanganku pada cahaya lilin kecil terakhir yang aku bawa yang sebentar lagi kehilangan cahayanya. Dan satu hembusan angin kecil sudah memadamkannya. Batu nisanmu itu kembali gelap melebur dalam malam dan isak tangisku.



Senin, 06 Februari 2012

Benci Jadi Cinta...?!



Istilah ini paling populer untuk dibuat menjadi cerita. Coba saja perhatikan kebanyakan pola ceritanya sama. Lama-lama jadi monoton dan unsur kejutan yang paling ditunggu jadi hilang. Tapi tergantung juga sih menurutku. Gimana pembawaan ceritanya, alur, sifat, dan yang pasti gaya bahasa kalu itu berbentuk buku.

Tapi.. bukan itu yang aku mau perbincangkan.

Kalo dibilang pengalaman boleh juga kok.

Oke masuk ke sesi pertanyaan:

            Apa itu cinta?

Cinta itu sebuah perasaan sayang atau suatu perasaan akan ketertarikan yang kuat, terkadang juga rumit. bisa membuat seseorang melakukan apapun, berkorban, empati, perhatian dll. dan yang pasti perasaan ini dirasakan seluruh makhluk.