Rabu, 29 Februari 2012

Lilin-Lilin yang Kesepian



Kamu harusnya sudah tahu kalau aku benci filosofi-mu tentang lilin-lilin itu. Tapi kamu selalu tidak peduli. Kamu malah bercerita dan bercerita lagi. Tapi setiap aku pasang tampang kesal kau malah tertawa dan bilang aku lucu.

Kamu ingat hari pertama aku mengajakmu bicara? Hari itu gelap gulita. Lampu seluruh komplek kita mati total. Aku akui aku memang takut hari itu. Aku harap aku tidak pernah mengakuinya padamu seperti yang aku lakukan saat ini.

Dari atas kamar, aku hampir berteriak dan menangis. Lalu aku melihat satu-satunya cahaya dari jendela kamarku. Bulan hari ini tampak penuh. Aku beranikan diri melihat keluar disana aku bisa melihatmu. Duduk di taman dengan dikelilingi cahaya lilin yang kau bentuk sedemikian rupa. Sesuatu yang indah lalu aku berteriak memanggilmu ‘gadis lilin’. Aku masih ingat ekspresi kaget mu yang melihatku tiba-tiba berteriak sambil melambai-lambai senang. Kau haruslah maklum saat itu kan aku baru tujuh tahun. Tapi toh kamu tersenyum juga.

Esok harinya aku pergi kerumahmu. Padahal tujuh tahun sebelumnya kita seperti tidak saling mengenal. Padahal rumah kita hanya terpisah tembok saja. Itu juga tidaklah terlalu tinggi. Tapi yah sudahlah toh akhirnya hari itu kita saling bertukar nama. Nuraini. Nama yang indah tapi ‘gadis lilin’ terasa lebih spesial bagiku maka dengan itulah aku selalu memanggilmu. Dan kau tetap memanggilku Satria.

Sejak itu esoknya aku datang lagi, dan esoknya, dan esoknya lagi. Sampai aku lupa kalau aku sudah terlalu akrab denganmu. Dan setiap siang sepulang sekolah aku menemanimu belajar. Padahal kau sedang home schooling tapi Ibumu selalu senang menyambutku di depan pintu, memberiku segelas minuman dan cemilan. Lalu membiarkanku ikut belajar menemanimu.

Hari itu kita sama-sama berumur lima belas tahun. Aku masuk ke SMA dan kau masih tetap mengikuti home schooling. Tapi aku selalu menyisakan waktuku untukmu. Terlalu sering hingga aku tidak sadar kebiasaan itu mengikatku. Dan aku berharap kau juga merasakannya. Kau tahu? Sampai sekarang aku selalu bisa menebak pikiranmu, kecuali semua pikiranmu tentangku. Seperti, apa yang kau pikirkan saat aku setengah mati berusaha tenang kalau kau berdiri terlalu dekat denganku hingga wajah kita hanya berjarak beberapa senti saja. Kadang kau tersipu oleh ocehan teman-temanku yang aku kenalkan padamu.

Ah, aku ingat hari itu. Seperti hari-hari biasa denganmu yang akan selalu aku kenang. Terkadang aku berpikir kapasitas otakku besar juga. Bahkan aku masih ingat setiap kali kau memanggil namaku dengan berbagai ekspresi. Siang itu aku tidak datang kerumahmu, kegiatan disekolah hari ini menahanku. Hingga sore hari dan gurumu sudah bersiap pulang. Payahnya tugas itu terpaksa aku bawa pulang ke rumah beserta beberapa orang temanku yang mau tidak mau harus ikut. Kau tahu, ekspresi terkejutmu itu lucu, saat itu kau bersembunyi di balik pohon bunga yang berdiri diantara rumah kita. Aku tidak tahu kenapa kau tidak memperhatikan kawan-kawan sekitarku lalu meloncat ke depan dan memelukku seperti biasa. Berharap aku terkejut. Kau berhasil membuatku terkejut juga kawan-kawanku. Melissa, Johan, Gia dan Deri. Lalu kau sendiri terkejut bukan main lalu lari masuk kedalam rumah. Saat itu terpaksa aku meninggalkan kawan-kawanku mengejarmu. Tapi yang aku dengar hanya isak tangis dari balik pintumu yang putih.

Lama sampai kau mau keluar dan mengikutiku. Aku kenalkan kau dengan temanku satu per satu. Disanalah aku melihat wajahmu yang tersipu saat Gia bertanya apa aku pacarmu. Lalu kau bersembunyi dibelakangku dan memanggil namaku dengan merajuk. Memintaku mengantarmu pulang. Dan sejak hari itu mereka sering datang dan menggodamu.

Kau tau ‘gadis lilin’ ku, sejak kawan-kawanku sering datang dan meledek kita aku mulai menyadari kehadiranmu lebih dari sekedar filosofi lilin yang kau agungkan. Tentang cahaya yang terang dan perlahan memudar. Bahkan sampai sekarang aku masih berfikir lilin itu tidak akan padam.

Aku hampir yakin bahwa kau juga merasakan hal yang sama. Tapi terkadang kau juga sering mengacuhkanku tanpa alasan yang jelas. Seperti hari itu, pagi yang indah dengan matahari yang tidak terlalu panas. Kita duduk berdua melihat langit. Berusaha menebak awan seperti anak kecil. Tapi kau senang aku tahu itu. Lalu kau bisa tiba-tiba murung dan diam untuk waktu yang lama. Terkadang berhenti bicara padaku. Yang aku tahu tidak akan bertahan lebih dari satu hari. Setelah segala upaya menggodamu yang membuatmu tersenyum lagi.

Aku ingat salah satu percakapan kita di hari yang sedikit mendung. Saat itu kau bertanya padaku kenapa aku selalu memanggilmu ‘gadis lilin’. Aku tersenyum tapi sebenarnya agak sedih juga, kau tahu? Itu hari pertama aku melihatmu dan kamu satu-satunya yang bersinar diantara lilin-lilinmu. Dan saat itu aku habiskan waktu sampai lampu menyala dengan melihatmu di bawah. Samar-samar juga aku lihat kedua orang tuamu di dalam. Berteriak-teriak mungkin mencari lilin yang sudah kau bawa keluar semua. Seperti di rumahku semuanya berisik. Karena itulah aku memanggilmu ‘gadis lilin’.

Nuraini, ‘gadis liiln’-ku. Karena dirimu butuh waktu lama untukku memandang lilin menjadi sesuatu yang indah seperti saat aku bertemu dirimu.

Ini, sudah setahun, aku tidak pernah menemuimu lagi. Aku takut, aku sedih, kehilangan sesuatu yang bersamaku setahun ini benar-benar menyiksa.

Nuraini? Bolehkah aku tetap memanggil mu ‘gadis lilin’ karena ini panggilan khusus untukmu dariku.
‘Gadis lilin’-ku, sekarang aku akan menyalakan lilin-lilin ini untukmu, seperti katamu

Lilin-lilin ini begitu indah
Dengan cahayanya yang benderang
Bersinar dengan bahagia
Hingga dirinya lebur dalam gelap gulita.

Selama ini aku bersikeras bahwa kau tidak perlu menjadi seperti lilin-lilin itu. Terlalu melankolis. Terlalu sedih. Maka setiap kau ceritakan cerita tentang lilin-lilin itu aku selalu kesal. Pun ketika aku tahu penyakit itu sudah setia bersamamu bertahun-tahun lalu. Jauh sebelum kita akhirnya saling menyapa. Aku semakin kesal kendati kau semakin menggilai filosofi mu tentang lilin-lilin itu.

Bagiku kau hanyalah lilin kecil yang redup diantara lampu-lampu. Dan kau merasa cahaya terang ini berasal darimu.

Air mata ini masih saja keluar mengaburkan pandanganku pada cahaya lilin kecil terakhir yang aku bawa yang sebentar lagi kehilangan cahayanya. Dan satu hembusan angin kecil sudah memadamkannya. Batu nisanmu itu kembali gelap melebur dalam malam dan isak tangisku.



Senin, 06 Februari 2012

Benci Jadi Cinta...?!



Istilah ini paling populer untuk dibuat menjadi cerita. Coba saja perhatikan kebanyakan pola ceritanya sama. Lama-lama jadi monoton dan unsur kejutan yang paling ditunggu jadi hilang. Tapi tergantung juga sih menurutku. Gimana pembawaan ceritanya, alur, sifat, dan yang pasti gaya bahasa kalu itu berbentuk buku.

Tapi.. bukan itu yang aku mau perbincangkan.

Kalo dibilang pengalaman boleh juga kok.

Oke masuk ke sesi pertanyaan:

            Apa itu cinta?

Cinta itu sebuah perasaan sayang atau suatu perasaan akan ketertarikan yang kuat, terkadang juga rumit. bisa membuat seseorang melakukan apapun, berkorban, empati, perhatian dll. dan yang pasti perasaan ini dirasakan seluruh makhluk.