Sampai aku menulis ini, aku masih tidak tahu apa itu
sahabat. Ah paling kalian bilang itu klise kan? Sekedar alasan untukku menulis
cerita ini. Sungguh kawan ini lah aku. Inilah ceritaku.
Teman, bagiku hanyalah pelengkap. Karena aku sendiri sadar aku tidak bisa hidup sendiri. Lalu aku mulai berteman. Berkenalan satu per satu sekedar mencari seseorang yang bisa aku sapa setiap pagi. Orang yang bisa aku ikuti ketika keluar kelas setelah penat belajar. Walau aku sendiri sering tertawa bersama bukan berarti mereka segalanya.
Hari-hari berjalan biasa. Hingga aku beranjak sekolah. Lalu sekarang,
masa itu sudah lewat. Aku tidak terlalu peduli. Karena aku juga tidak pernah
menganggap mereka peduli padaku. Egois? Mungkin itu kata yang tepat untukku. Karena
aku tidak tahu seperti apa berteman itu.. Hingga aku sering melupakan
teman-teman itu.
Kawan, adakah kalian tahu apa itu sahabat? Yah aku tidak
akan memaksa kalau kalian tidak tahu. Aku pun begitu. Semua cerita-cerita dalam
buku begitu mengagungkan kata sahabat. Baik, setia, dan semua kata yang sama
indahnya.
Bertahun-tahun aku tidak terlalu peduli. Selama ada satu
orang yang masih bisa berbagi sapa denganku. Tapi kawan aku juga bukan orang
munafik. Karena, satu-satunya yang aku rindukan dari masa sekolah adalah teman.
Seseorang yang bisa setiap pagi bertatap muka, berbagi cerita, berkeluh kesah,
bahkan sekongkol untuk sesekali kabur dari kelas.
Ini, aneh karena sekarang aku benar-benar merasa kesepian. Diantara
jarak yang jauh, aku masih mencoba menyapa mereka. Berharap mereka masih
mengingatku. Tapi selalu aku dapati diriku sendiri terpuruk, merasa jauh,
sebelum mereka menolakku.
Kawan, kalau aku berkata ini, pada kalian semua. Bahwa aku
tidak benar-benar merasa bersahabat dengan siapapun, adakah yang akan marah, kesal,
lalu menarik tanganku dengan tersenyum. Dan berkata, aku ada disini?
Sekali saja aku yang egois ini ingin tahu seperti apa
rasanya sahabat itu.
0 komentar:
Posting Komentar