Rabu, 07 Maret 2012

Lembaran Cerita Tentangmu


Hari ini angin bertiup penuh nafsu. Ranting-ranting mengetuk-ngetuk pelan jendela dilantai dua. Anita memandang keluar jendela dengan gusar. Bukan karena cuaca yang meyeramkan itu tapi lebih pada tumpukan barang-barangnnya yang sudah tertumpuk rapi dilantai kamarnya.
Hari ini keluarganya berencana pindah rumah. Buth sehari penuh untuk membereskan sisa barang-barangnya. Yang sudah mulai diangkut kedalam truk. Hari itu juga mereka akan meninggalkan Jakarta
“Sayang, sudah belum beres-beresnya?” suara Mama terdengar mengalahkan suara ribut diluar jendela. Anita menoleh kearah tumpukan kardus di depannya. Sudah rapi, pikirnya.
“Belum Ma, sebentar lagi,” jawab Anita bohong. Dia menghempaskan tubuhnya diatas kasur yang selimutnya sudah tidak lagi disana. Matanya menatap ruang kamarnya meneliti setiap sudutnya. Berusaha menyimpan semua detail kamarnya dalam memorinya. Lalu ekor matanya berhenti pada lemari kayu yang ada di sudut ruangan dekat jendela. Di atasnya, kotak biru tua diam tidak tersentuh. Dengan bantuan kursi belajar kotak itu berada kini dalam genggamannya. Anita tidak begitu ingat kotak apa dan kapan dia meletakkannya diatas. Yang dia tahu dia sudah berhasil menyembunyikan kotak itu bahkan dari dirinya sendiri.
Setelah kembali pada posisinya dibukanya kotak biru itu. Didalamnya ada beberapa lembar foto, foto dirinya juga teman-temannya. Satu persatu dikeluarkannya. Sekarang semua foto itu sudah bertebaran di atas kasur. Tapi yang mengganggunya adalah sebuah buku merah kecil. Buku itu memiliki gembok kecil berwarna silver yang mengunci setiap lembarannya. Anita menuang semua isi kotak itu hingga berserakan. Mencari kunci yang mungkin cocok dan dia yakin pernah menaruhnya disana.
Binggo!” teriaknya perlahan setelah menemukan kunci perak kecil yang pas dengan lubang kuncinya. Anita sekarang sudah terbenam dalam tulisan-tulisan buku itu. Dia baru ingat ini adalah buku diary-nya ketika masih SMP.
Di halaman pertama.
Asiknya jalan-jalan sama temen-temenku. Pulangnya mampir beli Pop Ice, emmm enak ^_^.
Anita tertawa membayangkan hari itu. Mereka pulang lebih awal lalu memanfaatkan untuk berjalan-jalan sebentar. Yah sebentar bagi mereka tapi ternyata hari sudah sore ketika mereka tiba di rumah masing-masing.
Anita membalik lembar demi lembar mengingat kejadian yang mulai dilupakannya. Lalu tangannya berhenti ketika dia mulai menyadari hampir setengah halaman terakhir hanya satu nama yang menghiasi catatan hariannya itu.
Hari ini ada murid baru. Namanya Dika. Padahal sudah dua minggu pelajaran dimulai, paling-paling sengaja supaya tidak ikut MOS kemarin. Anaknya juga keliatannya agak nyebelin. Hari pertama aja udah bikin ribut. Pasti hari berikutnya gak bakal tenang deh.
Anita mengingat-ingat kejadian itu. Gambaran-gambaran yang berhubungan dengan hari itu muncul seperti dipantulkan ke langit-langit kamarnya yang putih.
***
Anita duduk dibangku baris kedua dari pintu. Disebelahnya Elli mengikut lengan Anita dengan tidak sabar mencoba mengalihkan perhatian temannya itu dari buku bacaannya. Anita menutup bukunya menyadari wali kelasnya sudah berdiri di depan kelas.
“Perkenalkan saya Dika Bagus. Pindahan dari Bandung,” sapa seorang anak laki-laki yang masuk bersamaan dengan wali kelasnya. Setelah dia duduk di bangku tepat dibelakang Anita, pelajaran pun dimulai seperti biasa. Hanya saja jam-jam saat guru tidak ada dikelas jadi terasa berbeda.
Suasana kelas yang bising karena suara anak-anak yang bernyanyi dengan setengah berteriak memenuhi ruangan. Dan Dika anak yang baru saja bergabung pagi tadi sudah ikut menyumbang suaranya. Anita mencoba menenggelamkan pikirannya pada buku yang sejak jam pelajaran tadi tersimpan dalam lacinya.
Hari-hari berikutnya pun suasana semakin gaduh. Bahkan sepertinya dia menjadi pelopor dari semua kejahilan baru di kelas ini.
“Aduh sepatuku kemana ya?” Dita menilik setiap sudut rak kecil itu yang biasanya penuh dengan sepatu. Hari sudah begitu terik. Matahari sudah berada tepat diatas kepala mereka beberapa waktu lalu. Dita dan Anita mencari lagi di sudut aula yang mungkin mereka lewatkan. Hasilnya nihil.
Sebuah bayangan muncul di depan Anita. Menghalangi panasnya matahari yang menyengat. “Nyari apa sih?” Dika sudah berdiri dibelakangnya. Matanya menoleh ke kiri-kanan ikut sibuk mencari. Hari ini kelas mereka menggunakan aula untuk latihan senam karena itu sepatu kami ditinggal di rak dekat aula.
Spontan Anita berdiri menghalangi pandangan Dika, “elo umpetin dimana sepatunya?” tuduh Anita. Dika diam lalu tertawa sendiri. Dengan sebelah tangan mendorong tubuh Anita sedikit kesamping hingga dia kembali leluasa melihat sekelilingnnya. Anita tidak mau kalah dia hanya diam, bergeming.
“Enggak ada anak lain yang kekanak-kanakan kayak elo,” tantang Anita sekali lagi. Dia yang selalu merasa bisa menandingi siapapun tidak mau dianggap remeh oleh anak seperti Dika.
Dipandanginya  Anita jengah. Lalu dengan enggan berjalan ke dalam aula ketempat deretan kursi paling belakang. Mencoba mencari sesuatu di antara tumpukan kursi. “Ini! elo enggak asik,” disodorkannya sepasang sepatu hitam milik Dita lalu segera berlalu.
***
Angin berhembus semakin kencang karena jendela yang tidak dikunci terbuka oleh dorongan angin. Anita bangkit dari tempat tidurnya. Menutup jendela lalu duduk di meja belajarnya yang belum sempat terangkut. Beberapa halaman menceritakan kejahilan demi kejahilan Dika. Dia merasa aneh sendiri karena Dika yang merupakan musuh besarnya malah mengisi hampir seluruh halaman diarinya.
Perlahan titik-titik air jatuh menimbulkan suara yang berirama. Dari atas jendela dia dapat melihat orang-orang yang membantu ayahnya masuk kedalam rumah. Setelah menutupi bagian truk dengan terpal biru.
“Kok hujan ya Ma,” Anita sudah berada dibawah menikmati secangkir teh panasnya melihat satu persatu barangnya diturunkan dari lantai atas.
“Iya, semoga tidak tambah lebat jadi kita tidak terlambat nanti.”
Karena semua pekerjaannya sudah selesai Anita menyelinap kebelakang rumahnya. Duduk diatas ayunan dengan atap kecilnya yang cukup menghalangi gerimis jatuh di atas kepalanya. Diapun kembali larut dalam buku kecilnya. Berbeda dengan halaman lain yang menceritakan kejahilan Dika. Kalimat yang dia tulis disini membuat dia mengulanginya beberapa kali. Takut kalau dia salah membaca atau salah ketika menuliskannya dulu.
Kalau dari dekat dia sedikit jinak. Hihihi. Tapi ternyata cowok jahil ini lebih mahir dari aku. Sebel deh. Yah tapi dia cukup baik nawarin jawaban di soal terakhir. Duduk sebangku gak rugi juga.
 Melihat itu tidak mungkin ditulis oleh orang lain Anita membalik lagi halaman sebelumnya dan mendapatkan catatan ketika mereka diminta duduk berdua oleh wali kelas.
Huh kenapa sih harus duduk sama dia. Biar gak berisik apanya. Dia itu gak mungkin diem walau sudah dipindah keujung dunia.
***
Kalau hari ini Wenda yang badannya lebih berisi, masuk dengan tubuh langsing seperti gambar artis di majalah yang setiap hari dibawanya mungkin Anita tidak akan sekaget ini. Tapi dengan tatapan maut gurunya yang satu itu Anita menyeret tasnya dengan terpaksa. Menempati tempat duduk di belakangnya. Raut wajah Melinda terlihat cerah berlawanan denga Anita yang mendung disertai hujan badai, suram.
“Kenapa, gak seneng ya duduk sama gue?” Tanya Dika dengan wajah innocent-nya. Anita sendiri sudah duduk sambil menggerutu sendiri berusaha mnghindari pecah perang yang kesekian kalinya dengan makhluk disampingnya. Dengan senyum mencurigakan setidaknya bagi Anita Dika menambahkan, “aku gak gigit kok udah jinak nih.”
Oh my god.”
Hari hari berikutnya berjalan tidak baik tidak juga buruk. Semua murid diam dengan keadaan yang tidak bisa dibilang wajar. Karena guru killer sedang menghakimi muridnya yang tidak bisa menjawab soal yang dia berikan.
Satu persatu mencoba tentu saja bukan secara sukarela tapi seperti antrian maut. Dan sekarang tinggal lima orang lagi sebelum tiba giliran Anita.  Keringat dingin sudah membasahi tangannya. Karena dia belum bisa menaklukkan soal itu, alhasil dia pun akan bernasip sama seperti temannya. Berdiri di depan sampai ada yang bisa menjawab.
Empat, tiga, belum ada yang bisa menjawab dua, konsentrasinya sudah pecah dari tadi padahal hanya hitungan akhir saja yang belum selesai.
“Nih,” diliriknya sekilas lalu beralih pada empunya buku yang menatap lucu orang-orang di depan yang panik.
“Anita, maju,” Ibu Sesil memperhatikan gerak gerik Anita dari balik kaca matanya. Anita yang sudah pasrah merasakan Dika mendekatkan bukunya dengan gaya mendesak yang tidak kalah dari Ibu Sesil dengan tetap memperhatikan ke depan, takut ketahuan.
***
Sekarang Anita ingat karena jawaban Dika waktu itu dia dan teman-temannya di bebaskan dari hukuman Ibu Sesil. Walau PR berikutnya tetap tidak ada ampun. Dan diam-diam Dika menunjukkan kemampuannya dan selalu membuat Anita terkesan. Walau sifat kasar dan jahilnya juga semakin kelihatan.
Anita tidak terlalu ingat ketika dia melihat Dika sebagai musuh perlahan-lahan mulai tertawa bersama. Bahkan ada sedikit perasaan aneh terselip dalam setiap tawanya itu. Dibalik lagi halaman buku kecil itu dan membaca satu-persatu kejadian yang mungkin telah terlupakan. Walau detail ceritanya memang sudah sedikit memudar tapi dia masih bisa merasakan perasaan itu sampai sekarang. Dan semakin terasa aneh setiap kali membaca kata-katanya sendiri tentang bagaimana dia menggambarkan Dika.
Kenapa dia harus berdiri disana? Apalagi tanpa seragamnya yang biasa. Bersandar di pagar hitam sekolah, sambil mendengar kan lagu dari IPod-nya. Hari ini masih terlalu pagi yang lain belum datang. Hingga gak ada yang tahu aku memperhatikan dia. Aku sendiripun tidak sadar sudah memandangnya terlalu lama. Tapi dia tidak juga sadar aku disana. Atau hanya perasaanku, aku lihat dia menoleh sekilas lalu tersenyum?
***
Hari masih terlalu pagi karena itu Anita memanfaatkannya dengan berjalan santai ke sekolah. Berhubung hari ini hari minggu jalanan sudah dipenuhi orang yang berlalu lalang untuk sekedar jalan pagi. Anita tidak akan kecewa lagi kalau ternyata belum banyak murid lain yang datang apalagi di minggu pagi seperti ini. Seperti latihan renang dua minggu lalu.
Anita berhenti walau jarak gerbang sekolahnnya hanya sekitar lima meter lagi. Dilihatnya seseorang bersandar dipagar sekolahnya yang hitam. Hanyut dalam lagu yang didengarkannya lewat headset yang terhubung dengan IPod-nya. Anita berjalan perlahan menghampirinya. Bahkan sampai jarak mereka cukup dekat untuk saling menyapa.
Kemudian Anita memilih bersandar di pagar disamping Dika. Diperhatikan jalanan yang masih lenggang dari murid-murid lain.
“Pagi banget datengnya?” Tanya Dika begitu menyadari kehadiran Anita disampingnya.
“Kayaknya gue selalu dateng jam segini deh,” jawab Anita.
Dika mengangkat bahu tanda tidak terlalu peduli lalu kembali mendengarkan IPod-nya. Anita sendiri berusaha menyibukkan diri dengan melihat apapun yang ada di sekitarnya. Dia tidak tahu harus berterima kasih atau tidak karena waktu itu terasa begitu lama.
“Elo kenal Elina?” Tanya Dika.
“Kenal kenapa?” Anita balik bertanya.
Dika membiarkan earphone-nya tergantung begitu saja.
“Bilang sama dia Gue gak suka dia deketin gue terus” ucapnya ambigu, “gue gak suka cewek yang kecentilan”.
Entah perasaan aneh apa yang membuncah memenuhi rongga dadanya. Anita tidak sempat lagi memikirkan apapun karena suara Melisa memecah kesunyian yang aneh diantara mereka.
***
Anita menutup buku kecilnya. Memperhatikan satu persatu barang-barangnya sudah mulai diturunkan. Beberapa hari sebelumnya Anita sdah berpamitan kepada teman-teman disekolahnya. Karena bukan hanya Anita saja yang akan melanjutkan sekolah ke luar kota.
Tapi khusus untuk sahabat nya selama tiga tahun, mereka sudah menggelar acara perpisahan sendiri kemarin di rumah Anita. Karena Anita menolak mereka mengantar kepergiannya hari ini.
Sudah lama Anita mencoba melupakan bayangan Dika. Apalagi setelah kepergiannya di tahun kedua dengan alasan yang sama ketika pindah ke sekolah Anita. Mengikuti orang tua. Sekarang ketika semuanya sudah hampir pudar buku kecil ini kembali mengingatkan dia pada Dika.
Kalau saja dulu Dika tidak sering membelanya ketika sedang beradu mulut dengan anak berandal kelasnya. Entah karena pelajaran, PR atau Anita yang dengan beraninya menantang mereka karena keisengannya. Pembelaan Dika yang terang-terangan membuatnya merasa gerah.
“Anita, ayo kita sudah harus berangkat,” suara mama bergema diruangan yang hampir kosong. Anita segera mengambil tas kecilnya di meja.
Anita memilih duduk di belakang karena di kursi depan sudah ada Ibunya. “Loh ayah tidak ikut?” tanyanya begitu menyadari ayahnya tidak ikut masuk kedalam mobil.
“Kalian duluan saja, Ayah nanti menyusul setelah semua barang sudah rapi.” Perlahan mobil sedan biru ayahnya mulai berjalan menjauh. Kalau saat itu Dika pindah ke Jakarta karena mengikuti kedua orang tuanya, maka sekarang Anitalah yang menggunakan alasan itu untuk pindah ke Bandung.
Didapatinya halaman terakhir buku itu masih kosong, dan menorehkan beberapa kalimat disana.
Apakah benar yang orang bilang bahwa dunia itu sempit. Kalau iya aku ingin mempercayainya. Untuk memastikan perasaanku sendiri.

Pernah Dipostkan di : http://www.kemudian.com/node/262882 

0 komentar: