Selasa, 09 Agustus 2011

Cetak Biru_Lingkaran Setan

Ini merupakan cerita pertama atau mungkin bisa dibilang sebagai Sketsa Kasar. Ini merupakan cerpen fiksi fantasi pertamaku. Yang kemudian aku revisi untuk mengikuti ajang FantasiFiesta 2011.


. : Lingkaran Setan : .


 Entah apa awal mula semua ini, aku tidak tahu dengan pasti. Yang aku tahu dua bilah pedang yang setia menemaniku berada dalam genggamanku sekarang. Entah akan sampai kapan semua ini akan berakhir.

Hari ini matahari belum menampakkan dirinya. Aku, serta beberapa orang telah siap dengan apa yang mereka bawa masing-masing. Juga membawa serta berjuta alasan sampai mereka berada disini bersamaku.

“Ini untuk ayah! Ini untuk leluhur kita! Ini untuk mereka yang sudah berjuang jauh.. jauh sebelum kita sekarang! Balas lah dendam mereka dengan darahmu atau dengan tanganmu!” Kata-kata itu berputar dalam kepalaku. Kata terakhir yang diucapkan paman, adik ayah satu-satunya. Sebelum pergi ketempat aku berdiri sekarang ini. Mungkin setahun yang lalu, dan tidak pernah kembali lagi. Setidaknya tidak secara utuh.

Pikiranku kini terpecah dua. Mengamati matahari terbit dengan waspada. Dan mengingat masa lalu. Aku masih ingat peristiwa terburuk di penghujung hari itu. Jauh sebelum hari ini.

Mereka pulang. Iring-iringan pemuda dengan senjata bermacam jenisnya. Serta aroma anyir yang membuat aku menyingkir. Berburu, bukan. Karena tak pernah aku melihat satupun hewan yang berhasil mereka bawa pulang. Beberapa orang menghampiriku. Menghentikan gelak tawa dengan kawanku. Aku angkat kepalakku, tinggi-tinggi sekedar untuk melihat dengan jelas pemilik kaki besar dekat badanku.

“Bunuh! Bunuh! Bunuh mereka. Untuk Ayahmu!” Kalimat itulah yang diucapkannya sambil menatapku tajam. Penuh kebancian dan rasa sedih. Tubuh besar itu kemudian berlalu. Menemui Ibuku di dalam. Aku tidak mengerti tapi, aku mendengar Ibuku menangis. Tak lama pemilik tubuh besar itu keluar. Dia berlutut disampingku mengusap rambutku, sayang. Aku menatapnya lekat. Dialah pamanku orang yang cukup dekat dan sayang padaku setelah Ibu dan Ayahku. Sebelum pergi dia membisikkan kalimat itu lagi. Aku tidak mengerti. Tapi kata-katanya tadi sudah membunuh satu-satunya kebahagiaan yang aku punya. Masa kecilku. Bahkan kehidupanku setelahnya.

Pikiranku kini sepenuhnya terpusat hanya pada satu titik. Karena matahari sudah seutuhnya keluar dari persembunyiannya. Cahaya matahari yang menerangi seluru daratan. Terlihat dengan jelas sekumpulan orang tidak jauh dihadapanku. Serta  memantulkan kilatan-kilatan cahaya dari senjata yang kami bawa. Aku angkat pedang ditanganku tinggi-tinggi. Untuk beberapa detik mereka menunggu sampai aku menurunkan tanganku. Aba-aba yang menandakan ‘perang ini kembali dimulai’.

Setelah beberapa barisan dibelakangku maju, aku pun turut serta. Pedang ditanganku mulai menari dengan ganasnya. Segala serangan yang mengarah padaku dapat kutangis dengan mudahnya. Sebaliknya serangan pedangku sulit mereka hindari. Ini semua berkat ajaran Paman. 

Sepeninggalan Ayah, pamanlah yang menggantikan posisi Ayah, memimpin desa kami dan menjadi pengganti Ayah. Diapun telah mengganti kehidupan kanak-kanak ku dengan kehidupan yang berbeda. Sepasang pedang ini, kini menjadi satu-satunya sahabat bahkan seperti bagian dariku. Pedang ini pemberian Paman begitu juga cara menggunakannya. Semua diberikannya padaku. Racun yang disebut ‘Dendam’ telah menjalar dikehidupanku. Semua itu lagi-lagi karena Paman. Setiap hari kata dendam itu dibiarkan masuk kedalam pikiranku. Menggerakkan diriku untuk mempelajari pedang. Hanya untuk satu tujuan. Untuk saat seperti ini.

“Hari ini tidak buruk”, pikirku. Tidak seperti sebelumnya. Kami terpaksa mundur. Hari ini aku bertarung seimbang. Dengan pemimpin dari lawanku. Karena aku juga pemimpin kelompok ini. Orang itu yang diyakini harus bertanggung jawab atas semuanya. Racun ‘dendam itu menjalar keseluruh tubuhku mempengaruhi otakku. Hingga… tanpa sadar aku berhenti bergerak. Kuangkat pedangku dan berteriak sekeras yang aku bisa.

“Kita menang!” sorak-sorai menggelegar diseluruh penjuru. Musuh pun lari mundur. Takut.

Setelah pertarungan itu, aku pergi kehutan. Berharap menemui gadis itu lagi. Dan aku memang menemukannya. Beberapa hari ini aku sering melihatnya. Aku tidak tahu siapa dia. Tapi, dia selalu membuat  aku tertarik untuk datang sekedar mengobrol. Tapi gadis itu menunjukkan sesuatu hingga aku terdiam membatu. Symbol yang hanya dimiliki petinggi musuhku. Sambil memperlihatkan itu dia hanya tersenyum.

“Yang lalu biarlah berlalu mari kita akhiri semua ini”, senyumnya  hambar. Mendengar kata-katanya terbayang sesuatu yang tak ingin sama sekali aku bayangkan. Meski saat itu dia mengakhiri hidupku untuk membalas dendamnya. Aku pasrah karena tubuhku sudah kaku dibuatnya. Tapi dia pergi. Yah pergi.

Aku tidak mengerti. Tapi satu hal yang aku tahu pasti. Perang ini tidak akan pernah usai. Sebenarnya jauh di dalam hatiku aku ingin semua ini usai. Terlebih setelah bertemu dengannya. Aku benar-benar ingin semua ini berakhir.

Kini, semua itu sudah hampir tercapai. Gadis itu adalah pemimpin dari musuh ku setelah kematian ayahnya. Sekarang dibawah kepemimpinannya dia mengusung sebuah kata yang bagi kami asing. Perdamaian.

Kelompok di bawah kepemimpinan kami kini terpecah menjadi dua pemikiran. Sebagian telah lelah berperang. Sebagian lagi perdamaian hanya omong kosong yang hanya menyia-nyiakan pengorbanan pendahulu mereka.

Di sudut hatiku aku ingin kedamaian ini tercapai. Tapi, entahlah. 

Hari ini aku pergi lagi kehutan itu mencari jawaban. Sejak hari itu aku tidak lagi pergi kesana. Disana aku melihat gadis itu lagi. Betapa aku senang melihat dia. Dia melihatku,  masih tersenyum. Tapi, senyumnya cerah. Seperti saat aku pertama aku bertemu dengannya tanpa beban.

“Sebenarnya ada apa denganmu?! Kau tahu apa yang kau tawarkan itu?!”, keluar sudah semua pertanyaan itu.

“Aku sudah bosan. Kalau ini terus berlajut. Pasti tidak akan pernah selesai”, wajahnya teduh. Sekilas aku melihat sosoknya yang lain. Ibuku.

Melihat wajahnya yang teduh ingatan itu kembali. Setahun setelah kematian ayahku. Ibuku pergi., membawa keteduhan yang tersisa yang aku miliki. Sebelum kepergiannya ibu berpesan agar aku mengahhiri semua ini. Aku tidak mengerti maksudnya. Hingga kini.

Tapi, setelah melihat gadis ini sepertinya aku tahu akhir seperti apa yang Ibu inginkan. Berhadapan dengannya seakan perdamaian itu benar-bernar sudah terwujud. Kebimbangan ku hilang sudah.

Aku ucapkan terima kasih padanya atas pertemuan yang tidak terduga ini. Walau sebenarnya sangat aku harapkan.

Kami pun berpisah. Dan berjanji besok adalah awal yang baru bagi kami. Karena besok kesepakatan akan kami buat secara jelas. Perdamaian yang kami harapkan.

Sebelum pagi itu perbedaan paham masih terjadi. Tapi aku, teguh akan menyetujui perdamaian itu. Mau tidak mau mereka terpaksa menyetujui karena akulah pemimpin mereka. Meskipun mereka tetap khawatir perdamaian itu akan merugikan. Meski begitu aku tetap pergi.

Ditempat yang sudah disepakati. Aku menunggu. Cukup lama sampai sempat terpikir apakah ini akan berhasil?

Setelah cukup lama mereka datang. Tapi, Aneh! Yang duduk dihadapanku bukan gadis itu. Tapi, orang lain. Kami pun duduk saling berhadapan. Awal sejarah baru akan segera dimulai.

Orang yang ada dihadapanku menunjukkan beberapa tulisan yang menyatakan bahwa mulai hari ini kami kedua pihak akan meletakkan senjata. Detik-detik terakhir kesepakatan damai itu. Sebuah belati kecil mengarah tepat didepan mataku sebelumnya akhirnya aku tangkis.

Sontak semua yang hadir berdiri. Aku coba menenangkan diri. Tapi, kata-kata pemilik belati itu membuat aku lemas. Gadis itu pagi tadi pergi untuk selama-lamanya. Dan yang lebih membuatku membatu. Akulah tertuduh atas semua kekacauan ini. orang itu mengaku melihat kami. Dan entah cerita dari mana yang ia ceritakan. Aku marah. Sangat marah.  Kepalan tangan ku mendarat tepat di wajahnnya. Kutarik dia sampai wajahnya cukup dekat dengan ku tapi dia tersenyum. Senyum kemenangan.

Pada awalnya kesepakatan damai itu memang belum kokoh. Kepercayaan antara semua yang hadir masih akan goyah walau tertiup angin. Tapi yang aku hadapi ini adalah hujan petir. Ruangan itu kini gaduh semua menatap tajam satu sama lain. Terlebih lagi sikapku tadi. Aku tidak sadar akulah pemimpin mereka. Melihat apa yang aku lakkukan, perdamaian itu lenyap sudah. 

Saat itu juga aku tersadar. Aku sudah terjebak. Sejak kematian ayahku. Dan takdirku sebagai penerus. Pemimpin atas semua kekacauan ini. Aku yakin setan-setan tertawa begitu juga pemilik belati itu. Karena berhasil menarikku kembali kedalam lingkaran setan ini!

0 komentar: